Recent Posts

LightBlog

Tuesday 2 April 2019

HUKUM PEMBUKUAN DALAM DAGANG


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Dua Kali Perubahan Dalam Peraturan Pembukuan
       Perihal pembukuan ini diatur dalam Bab 2 Buku 1 KUHD. Mulai pasal 6 sampai dengan  12, bab ini mengalami dua kali perubahan, yaitu pada tanggal 9 juni 1927 dengan S 1927-146, dan pada tanggal 7 juli 1938 dengan S 1938-276.
       Sebelum perubahan yang pertama, menurut pasal 6 dan 7 (lama) KUHD, tiap pedagang harus memelihara buku harian (dagboek atau journal) dan buku copy. Buku harianitu harus diisi segala macam penerimaan dan pengeluaran dengan cara yang cermat sekali, tulisan di tengah-tengah baris dan catatan-catatan pinggir (kanttekeningen). Buku copy ialah buku yang berisi tembusan surat-surat keluar.
       Disamping dua buku yang diwajibkan tersebut diatas, si pembagi perusahaannya, misalnya buku gudang, buku copy wesel, bubku rekening, (grootboek untuk system dubble), dan buku rekening Koran (grootboek untuk sistem enkel).
1.      Perubahan Yang Pertama
Perubahan peraturan pembukuan yang pertama terjadi pada tanggal 9juni 1927-146. Adapun sebab-sebab adanya perubahan ialah:
a.       Pengaturan dalam pasal 6 (lama) KUHD tidak mengindahkan perbedaaan-perbedaan antara pembukuan sistem yang memakai enkel dan sistem dubbel.
b.      Pelaksanaan pasal 6 (lama) KUHD sangat sulit, sehuinggaorang berusaha mencari jalan keluar yang lebih gampang yaitu dengan mempergunakan sistem yang memakai kartu-kartu atau lembaran-lembaran lepas. Perubahan yang dibawa oleh S 1927-146 ialah mengharuskan pedagang mengadakan catatan-catatan mengenai harta kekayaannya, termasuk harta kekayaan yang ada dalam perusahaannya catatan-catatan itu harus dibuat sedemikian rupa, sehingga setiap saat dapat diketahui dari padanya semua hak-hak dan kewajiban si pedagang (pasal 6 ayat (1) KUHD).
2.      Perubahan Yang Kedua
Perubahan peraturan yang kedua terjadi pada tanggal 17 juli 1938 dengan S 1938-276. Perubahan ini mengenai istilah pedagang, yang rumusnya diganti dengan “setiap orang yang menjalankan perusahaan”. Jadi orang-orang yang menjalankan perusahaan itu diwajibkan membuat catatan-catatan tentang harta kekayaannya, termasuk harta perusahaannya, sehingga setiap saat dapat diketahui dari padanya segala hak-hak dan kewajiban pengusaha. Hal ini berhubungan erat sekali dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1131 dan 132 KUHPER, yang menentukan bahwa seluruh harta kekayaan seorang debitu, baik yang bergerak maupun yang tetap baik yang telahada maupun yang akan mendatang, merupakan jaminan bagi seluruh kreditur-krediturnya. Penandatanganan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan dari besar kecilnya utang yang harus dilunasi.

B.     Kewajiban Membuat neraca
       Menurut pasal 6 ayat (2) KUHD, setiap tiap-tiap tahun dalam tenggang waktu 6 ulan yang pertama harus membuat neraca menurut syarat-syarat perusahaannya dan menandatanganinya sendiri.
       Karena dalam KUHD, tidak ditegaskan tentang syarat-syarat pembuatan neraca itu, maka kita harus meneliti kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam dunia perusahaan.
Menurut Polak, neraca ialah daftar yang berisikan:
1.      Seluruh harta kekayaan beserta harganya dari masing-masing benda.
2.      Segala utang-utang dan saldonya.
Menurut Polak, kebiasaan dalam dunia perusahaan memakai bentuk “scontro” (dua halaman yang berdampingan) bagi neraca. Jadi dalam persekutuan firma oleh semua sekutu (firmant), dan dalam perseroan terbatas oleh pengurus dan komesaris. Dengan adanya Undang-Undang No 1 tahun 1967 (Ln 1967-1) tentang penanaman Modal Asing, yang mengakibatkan di Indonesia tidak hanya ada perusahaan nasional, tetapi juga banyak perusahaan asing dan perusahaan campuran (jointventure), sudah tentu timbul sistem-sistem pembukuan asing, terutama yang dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan asing dan joint-venture itu.
1.      Catatan-Catatan dan Neraca harus disimpan selama 30 tahun
Menurut pasal 6 ayat (3), buku-buku atau catatan-catatan seperti tersebut dalam pasal 6 ayat (1), dan neraca seperti tersebut dalam pasal 6 ayat (2), harus disimpan selama 30 tahun. Ketentuan ini ada hubungannya tenggang waktu untuk gugurnya hak menuntut sebagaimana yang diatur dalam 1967 KUHPER. Tetapi menurut pasal 6 ayat (3) itu juga,surat-surat dan telegram yang diterima serta tembusan surat-surat dan telegram yang keluar, harus disimpan selama 10 tahun. Prof. Soekardono berpendapat bahwa perbedaan lamanya waktu penyimpanan ini tidak dapat dimengerti, sebab upaya pembuktian justru lebih banyak terdapat dalam surat-surat  dan telegram-telegram dari pada dalam neraca buku-buku dan neraca itu. Saya tidak sependapat dengan Prof. Soerkadono tersebut, sebab:
a.       Surat-surat dan telegram dan tembusan-tembusan surat yang terkumpul selama 10 dan 30 tahun itu sangat banyak jumlahnya, sehingga mungkin membutuhkan gudang tersendiri yang sangat luas. Padahal tempat  itu dipergunakan untuk kepentingan lainnya yang lebih bermanfaat.
b.      Tentang  kekuatan pembuktian pembukuan dan neraca itu cukup terjamin dengan adanya pasal 7.
c.       Tuntutan dalam hukum dagang itu biasanya dalaksanakan dalam waktu  pendek.
2.      Kekuatan Pembuktian Catatan Catatan dan Neraca
Menurut pasal 7 KUHD, catatan catatan dan neraca sebagai dimaksud dalam pasal 6 itu mermpunyai kekuatan pembuktian yang dapat menguntungkan pengusaha, karena pasal 7 tersebut memberikan kebebasan pada hakim untuk menilai catatan dan neraca itu untuk tiap tiap kejadian yang komplit sesuai dengan kebijaksanaannya untuk euntungan bagi salah satu pihak. Hak hakim untuk menilai ini tidak terbatas pada catatan catatan dan neraca yang diwajibkan saja, tetapi juga terhadap catatan catan yang diwajibkan.
Pasal 7 KUHD ini merupakan penyimpanan dalam pasal 1881 KUHPER. Sebab pasal 1881 KUHPER ini menentukan bahwa semua “huihoudelijke papieren” (surat surat kerumahtanggaan) tidak memberikan pembuktian bagi keuntungan si pembuatnya, malahan merupakan alat pembuktian bagi keuntungan si pembuat. Dipandang dari pasal ini, catatan catatan dan neraca sebagai yang dimaksud dalam pasal 6 KUHD itu termasuk golongan “huihoudelijke papieren”. Jadi, sesuai dengan pasal 1881 KUHPER. Catatan catatan dan neraca tersebut dalam pasal 6 KUHD tidak dapat memberikan pembuktian bagi kentungan si pembuat tetapi pasal 7 KUHD justru memberikan kemungkinan bagi si pembuat untuk mendapatkan keuntungan si pembuat, untuk mendapatkan keuntungan dari kekuatan si pembuat neraca itu. Hal ini disebabkan oleh kewajiban menyelenggarakan pebuktian itu diperintahkan oleh UU ( pasal 6 (1) )


C.     Pembukuan
Buku buku pengusaha sebagai yang diperintahkan penyelenggaraannya oleh pasal 6 mempunyai sifat rahasia, artinya tidak setiap orang boleh melihatnya, kecuali orang orang yang diperbolehkan oleh UU. Tentang hal yang terakhir ini membentuk UU memberi dua kemungkinan penerobosan, yaitu dengan cara “pembukuan” yang diatur dalam pasal 8, dan pemberitaan yang diatur dalam pasl 12.
Lembaga pembukuan hanya diberikan kepada pihak yang bersengketa di muka pengadilan dan kepada hakim eksoficion, yaitu bila terjadi perselisihan di muka hakim, dimana salah satunya jalan yang menuju pada penyelesaian perkara hanya dengan cara pembukuan catatan dan neraca itu kepada hakim. Dalam hal yang demikian itu, hakim dapat menolak atau menerimanya (pasal 8 ayat 1).
Karena darai hakim tidak dapat diminta agar beliau dapat melihat soal soal pembukuan sampai sekecil kecilnya, maka pasal 8 ayat 2 memberikan kesempatan pada hakim untuk mendengarkan pendapat ahli tentang da nisi dari catatan dari neraca itu. Mengenai prosedur pendengaran kepada para ahli itu, kita dapat berpedoman pada pasal 154 H.I.R atau pasal 181 R>Bgw. Bila catatan atau neraca yang akan dibuka berada diluar wilayah hakim yang bersangkutan, maka hakim dapat minta bantuan kepada hakim yang mewilayahi tempat dimaa catatan atau neraca yang bersangkutan (pasal 9)
Bila pihak yang memegang catatan atau neraaca tidak mau menuruti perintah hakim untuk membuka catatan dan neracanya maka terserah atas kebijaksanaan hakim untuk menarik kesimpulan daripadanya ( pasal 8 ayat 3 )


D.    Pemberitaan
cara penerobosan yang kedua adalah pemberitaan. Yang daitur dalam pasal 12. Kalau pembukuan hanya dapat terjadi di muka hakim maka pemberitaan dapat terjadi di luar hakim. Orang orang yang menurut pasal 12 berwenang untuk menuntut pemberitaan ialah
1.      Orang berwenang mengangkat pengurus, yaitu pengusaha atau pemilik perusahaan
2.      Sekutu atau persero
3.      Buruh yang berkepentingan terhadap perusahaan
4.      Ahli waris pengusaha sekutu dan buruh yang berkeeningan tarhadap perusahaan
5.      Dalam hal direksi tidak mau menyerahkan buku bukunya untuk hakim. Bila permintaan itupun ditolak lagi, maka hakim dapat menghukum direksi :
a.        Membayar biaya, kerugian dan bunga
b.      Membayar sejumlah uang paksa selama dan setiap kali si penghubung tidak melaksanakan bunyinya putusan keadilan (pasal 606a dan 606b R.v)
c.       Dengan paksaan badan

Mengenai paksaan badan ini, ada perbedaan pengaturan di HIR dan di Rv. Menurut pasal 5 Rv putusan paksa badan harus sudah termasuk dala putusan mengenai soal pokoknya. Tetapi menurut pasal 209 HIR dst putusan paksa badan itu dibuat tersendiri terpisah dan diluar surat putusan mengenai soal pokok pokoknya.


untuk versi filenya download disini yaa

1 comment:

  1. penggunaan sistem akuntansi pembelian yang tepat mampu mempermudah pembukuan dagang suatu usaha, makasih min atas artikelnya

    ReplyDelete