Recent Posts

LightBlog

Tuesday 7 May 2019

JUAL BELI ISTISHNA'


A.    Latar Belakang
                 Muamalah merupakan suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata cara hidup sesama umat manusia untuk memenuhi keperluanya sehari-hari yang bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam melengkapi kebutuhan hidup, untuk saling memahami antara penjual dan pembeli, untuk saling tolong-menolong, serta untuk mempererat tali silaturahmi antar sesama umat. Salah satu kegiatan dalam muamalah adalah jual beli istishna’.
                 Adapun jual beli istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran dilakukan dimuka, melalui cicilan atau ditangguhkan sampai waktu pada masa yang akan datang.

B.     Pembahasan
1.    Pengertian Istishna’
            Lafal istishna’ berasal dari kata shana’a ( صَنَعَ ) ditambah alif, sin, dan ta’ menjadi istashna’a ( اِسْتَصْنَعَ ) yang sinonimnya   طَلَبَ مِنْهُ أَنْ يَسْنَعَهُ,  artinya “meminta untuk dibuatkan sesuatu”.
            Pengertian istishna’ menurut istilah tidak jauh berbeda dengan pengertian menurut bahasa. Wahbah Zuhaili mengemukakan pengertian istishna’ menurut istilah sebagai berikut :
تَعْرِيفُ اْلإِسْتِصْنَاعِ هُوَ عَقْدٌ مَعَ صَانِعٍ عَلَى عَمَلِ شَيْ ءٍ مُعَيَّنٍ فِي الذِّمَّةِ, أَيِ الْعَقْدُ عَلىَ شِرَاءِ مَا سَيَصْنَعُهُ الصَّا نِعُ وَتَكُوْنُ الْعَيْنُ وَالْعَمَلُ مِنَ الصَّا نِعِ.
Definisi istishna’ adalah suatu akad beserta seorang produsen untuk mengerjakan sesuatu yang dinyatakan dalam perjanjian, yakni akad untuk membeli sesuatu yang akan dibuat oleh seorang produsen, dan barang serta pekerjaan dari pihak produsen tersebut.
Ali Fikri memberikan definisi istishna’ sebagai berikut:
الإِسْتِصْناَعُ هُوَ طَلَبُ عَمَلِ شَيءٍ خَا صٍّ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوصٍ مَادَّ تُهُ مِنْ طَرَفِ الصَّا نِع
Istishna’ adalah suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang tertentu menurut cara tertentu yang materinya (bahanya) dari pihak pembuat (tukang).[1]
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah, adalah:
والا ستصنا عهوشر أما يضعو قفا الطلب
Artinya : Istishna‟ adalah membeli sesuatu yang dibuat sesuai dengan pesanan. [2]
Adapun definisi lain dari istishna’ menurut fatwa DSN MUI, istishna’ adalah akad jual beli dengan bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (mustashni’) dan penjual (shani’)
Menurut UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, istishna’ adalah akad pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan dan penjual atau pembuat.
Dan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, istishna’ adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dengan pihak penjual.
Dari definisi-definisi diatas, maka dapat dipahami bahwa akad istishna’ adalah suatu akad antara dua pihak dimana pihak pertama (orang yang memesan/konsumen) meminta kepada pihak kedua (orang yang membuat/produsen) untuk dibuatkan suatu barang seperti sepatu, yang bahanya dari pihak kedua. Pihak pertama yaitu pembeli disebut mustashni’, sedangkan pihak kedua yaitu penjual disebut shani, dan sesuatu yang menjadi objek akad disebut mashnu’ atau barang yang dipesan (dibuat). Apabila bahan yang dibuat itu dari pihak mustashni’, bukan dari shani’ maka akadnya bukan istishna’ melainkan ijarah. Namun demikian, sebagian fuqaha mengatakan bahwa objek akad istishna’ itu hanyalah pekerjaan semata, karena pengertian istishna’ adalah permintaan untuk membuatkan sesuatu, dan itu adalah pekerjaan.
Istishna’ adalah akad yang menyerupai akad salam, karena bentuknya menjual barang yang belum ada (ma’dum), dan sesuatu yang akan dibuat itu pada waktu akad ditetapkan dalam tanggungan pembuat sebagai penjual. Hanya saja berbeda dengan salam karena :
a.       Dalam istishna’ harga atau alat pembayaran tidak wajib dibayar dimuka.
b.      Tidak ada ketentuan tentang lamanya pekerjaan dan saat penyerahan.
c.       Barang yang dibuat tidak mesti ada dipasar.[3]

2.    Dasar Hukum Jual Beli Istishna’.
Secara umum landasan syariah yang berlaku pada jual beli salam juga berlaku pada jual beli istishna’, para ulama membahas lebih lanjut keabsahan jual beli istishna’ yaitu menurut mazhab Hanafi, jual beli istishna’ termasuk akad yang dilarang. Mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak jual menjual harus ada dan dimiliki penjual. Meskipun demikian, mazhab Hanafi menyetujui kontrak jual beli istishna’ atas dasar istihsan karena alasan berikut ini:
a.       Keberadaan jual beli istishna’ berdasarkan kebutuhan masyarakat. Banyak yang sering terjadi barang yang tidak tersedia dipasar sehingga mereka cenderung melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk mereka.
b.      Jual beli istishna’ sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, akad istishna’ dibolehkan atas dasar akad salam, dan kebiasaan manusia. Syarat-syarat yang berlaku untuk salam juga berlaku untuk akad istishna’. Diantara syarat tersebut adalah penyerahan seluruh harga (alat pembayaran) di dalam majelis akad. Seperti halnya akad salam, menurut Syafi’iyah, istishna’ itu hukumnya sah, baik masa penyerahan barang yang dibuat (dipesan) ditentukan atau tidak, termasuk apabila diserahkan secara tunai.[4]
3.    Rukun Jual Beli Istishna’
Rukun istishna’ menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul. Akan tetapi, menurut jumhur ulama rukun istishna’ ada tiga. Tiga rukun tersebut yang harus terpenuhi agar akad itu benar-benar terjadi yaitu sebagai berikut:
a.    Kedua-belah pihak
Kedua belah pihak maksudnya adalah pihak pemesan yang diistilahkan dengan mustashni’ sebagai pihak pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang dimintakan kepadanya pengadaan atau pembuatan barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan shani’.


b.    Barang yang diakadkan.
Barang yang diakadkan atau yang disebut dengan al-mahal adalah rukun yang kedua dalam akad ini. Sehingga yang menjadi objek dari akad ini semata-mata adalah benda atau barang-barang yang harus diadakan. Demikian menurut umumnya pendapat kalangan mazhab Al-Hanafi.
Namun menurut sebagian kalangan mazhab Hanafi, akadnya bukan atas suatu barang, namun akadnya adalah akad yang mewajibkan pihak kedua untuk mengerjakan sesuatu sesuai pesanan. Menurut yang kedua ini, yang disepakati adalah jasa bukan barang.
c.    Shighah (ijab qabul).
Ijab qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari pihak yang dipesan untuk menyatakan persetujuanya atas kewajiban dan haknya itu.[5]

untuk versi fullnya bisa download dibawah ini


[1] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 252
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: PT Pena Pundi Aksara, 2009), hlm. 69
[3] Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 177
[4] Ahmad Wardi, Op.Cit., hlm. 254

No comments:

Post a Comment