A. Latar Belakang
Muamalah merupakan
suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata cara hidup
sesama umat manusia untuk memenuhi keperluanya sehari-hari yang bertujuan untuk
memberikan kemudahan dalam melengkapi kebutuhan hidup, untuk saling memahami
antara penjual dan pembeli, untuk saling tolong-menolong, serta untuk
mempererat tali silaturahmi antar sesama umat. Salah satu kegiatan dalam
muamalah adalah jual beli istishna’.
Adapun jual beli istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang.
Dalam kontrak
ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha
melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang
telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak
bersepakat atas harga serta sistem pembayaran dilakukan dimuka, melalui cicilan
atau ditangguhkan sampai waktu pada masa yang akan datang.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian Istishna’
Lafal
istishna’ berasal dari kata shana’a ( صَنَعَ ) ditambah alif, sin, dan ta’
menjadi istashna’a ( اِسْتَصْنَعَ ) yang
sinonimnya طَلَبَ مِنْهُ أَنْ يَسْنَعَهُ, artinya “meminta untuk
dibuatkan sesuatu”.
Pengertian istishna’ menurut istilah tidak jauh berbeda
dengan pengertian menurut bahasa. Wahbah Zuhaili mengemukakan pengertian istishna’
menurut istilah sebagai berikut :
تَعْرِيفُ اْلإِسْتِصْنَاعِ
هُوَ عَقْدٌ مَعَ صَانِعٍ عَلَى عَمَلِ شَيْ ءٍ مُعَيَّنٍ فِي الذِّمَّةِ, أَيِ
الْعَقْدُ عَلىَ شِرَاءِ مَا سَيَصْنَعُهُ الصَّا نِعُ وَتَكُوْنُ الْعَيْنُ
وَالْعَمَلُ مِنَ الصَّا نِعِ.
Definisi istishna’ adalah suatu akad beserta seorang
produsen untuk mengerjakan sesuatu yang dinyatakan dalam perjanjian, yakni akad
untuk membeli sesuatu yang akan dibuat oleh seorang produsen, dan barang serta
pekerjaan dari pihak produsen tersebut.
Ali Fikri memberikan definisi istishna’ sebagai berikut:
الإِسْتِصْناَعُ
هُوَ طَلَبُ عَمَلِ شَيءٍ خَا صٍّ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوصٍ مَادَّ تُهُ مِنْ طَرَفِ
الصَّا نِع
Istishna’ adalah suatu permintaan untuk mengerjakan
sesuatu yang tertentu menurut cara tertentu yang materinya (bahanya) dari pihak
pembuat (tukang).[1]
Sedangkan menurut
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah, adalah:
والا
ستصنا عهوشر أما يضعو قفا الطلب
Adapun
definisi lain dari istishna’ menurut fatwa DSN MUI, istishna’ adalah akad jual
beli dengan bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (mustashni’) dan penjual
(shani’)
Menurut
UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, istishna’ adalah akad pembiayaan
barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan dan penjual atau pembuat.
Dan
menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, istishna’ adalah jual beli barang atau
jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati antara pihak pemesan dengan pihak penjual.
Dari
definisi-definisi diatas, maka dapat dipahami bahwa akad istishna’ adalah suatu
akad antara dua pihak dimana pihak pertama (orang yang memesan/konsumen)
meminta kepada pihak kedua (orang yang membuat/produsen) untuk dibuatkan suatu
barang seperti sepatu, yang bahanya dari pihak kedua. Pihak pertama yaitu
pembeli disebut mustashni’, sedangkan pihak kedua yaitu penjual disebut shani,
dan sesuatu yang menjadi objek akad disebut mashnu’ atau barang yang dipesan
(dibuat). Apabila bahan yang dibuat itu dari pihak mustashni’, bukan dari
shani’ maka akadnya bukan istishna’ melainkan ijarah. Namun demikian, sebagian
fuqaha mengatakan bahwa objek akad istishna’ itu hanyalah pekerjaan semata,
karena pengertian istishna’ adalah permintaan untuk membuatkan sesuatu, dan itu
adalah pekerjaan.
Istishna’
adalah akad yang menyerupai akad salam, karena bentuknya menjual barang yang
belum ada (ma’dum), dan sesuatu yang akan dibuat itu pada waktu akad ditetapkan
dalam tanggungan pembuat sebagai penjual. Hanya saja berbeda dengan salam
karena :
a. Dalam istishna’
harga atau alat pembayaran tidak wajib dibayar dimuka.
b. Tidak ada ketentuan
tentang lamanya pekerjaan dan saat penyerahan.
2.
Dasar Hukum Jual Beli Istishna’.
Secara umum landasan syariah yang berlaku pada jual beli
salam juga berlaku pada jual beli istishna’, para ulama membahas lebih lanjut
keabsahan jual beli istishna’ yaitu menurut mazhab Hanafi, jual beli istishna’
termasuk akad yang dilarang. Mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok
kontrak jual menjual harus ada dan dimiliki penjual. Meskipun demikian, mazhab
Hanafi menyetujui kontrak jual beli istishna’ atas dasar istihsan karena alasan
berikut ini:
a.
Keberadaan jual beli istishna’ berdasarkan kebutuhan
masyarakat. Banyak yang sering terjadi barang yang tidak tersedia dipasar
sehingga mereka cenderung melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang
untuk mereka.
b.
Jual beli istishna’ sah sesuai dengan aturan umum
mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan
as-Sunnah.
Menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, akad
istishna’ dibolehkan atas dasar akad salam, dan kebiasaan manusia.
Syarat-syarat yang berlaku untuk salam juga berlaku untuk akad istishna’.
Diantara syarat tersebut adalah penyerahan seluruh harga (alat pembayaran) di
dalam majelis akad. Seperti halnya akad salam, menurut Syafi’iyah, istishna’
itu hukumnya sah, baik masa penyerahan barang yang dibuat (dipesan) ditentukan
atau tidak, termasuk apabila diserahkan secara tunai.[4]
3.
Rukun Jual Beli
Istishna’
Rukun istishna’
menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul. Akan tetapi, menurut jumhur ulama rukun
istishna’ ada tiga. Tiga rukun tersebut yang harus terpenuhi agar akad itu
benar-benar terjadi yaitu sebagai berikut:
a. Kedua-belah pihak
Kedua belah pihak
maksudnya adalah pihak pemesan yang diistilahkan dengan mustashni’ sebagai
pihak pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang dimintakan kepadanya
pengadaan atau pembuatan barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan
shani’.
b. Barang yang diakadkan.
Barang yang
diakadkan atau yang
disebut dengan al-mahal adalah rukun yang kedua dalam akad ini.
Sehingga yang menjadi objek dari akad ini semata-mata adalah benda atau
barang-barang yang harus diadakan. Demikian menurut umumnya pendapat kalangan
mazhab Al-Hanafi.
Namun menurut
sebagian kalangan mazhab Hanafi, akadnya bukan atas suatu barang, namun akadnya
adalah akad yang mewajibkan pihak kedua untuk mengerjakan sesuatu sesuai pesanan.
Menurut yang kedua ini, yang disepakati adalah jasa bukan barang.
c. Shighah (ijab qabul).
Ijab qabul adalah akadnya itu
sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang meminta kepada seseorang
untuk membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah
jawaban dari pihak yang dipesan untuk menyatakan persetujuanya atas kewajiban
dan haknya itu.[5]
untuk versi fullnya bisa download dibawah ini
No comments:
Post a Comment