Recent Posts

LightBlog

Tuesday 10 September 2019

Hadits Dhaif



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ilmu hadits adalah ilmu yang sangat rumit dan menyisakan problematika ditengah-tengah umat, juga merupakan bagian ilmu yang harus diketahui dan dipelajari oleh segenap kaum muslim. Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran. Hadits merupakan perkataan, perbuatan dan takrir Nabi Muhammad selama beliau menjadi nabi dan rosul. Besarnya peranan hadits ini harus disertai ketelitian dalam memilih hadits yang benar-benar langsung dari Rasullulloh. Karena hadits yang masih diragukan akan sulit dipertanggung jawabkan untuk dijadikan sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Quran.
Salah satu macam hadits adalah hadits dhaif. Hadits dhaif tidak bisa dijadikan hujjah, apapun bentuknya dan apapun kasusnya. Maka dari itu sangat penting untuk mempelajari tentang hadits dhaif ini agar tidak mudah terjebak dengan pemahaman yang penuh dengan pertentangan menurut disiplinnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari Hadits Dhaif ?
2.      Apa saja macam-macam Hadits Dhaif ?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Hadits Dhaif.
2.      Untuk mengetahui macam-macam Hadits Dhaif.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadits Dhaif
Kata dhaif menurut bahasa berasal dari kata dhuifin yang artinya lemah. Sedangkan dhaif berarti hadits yang tidak memenuhi hadits hasan. Hadits dhaif disebut juga hadits mardud (ditolak). Secara istilah hadits dhaif ialah hadits yang tidak mempunyai persyaratan hadits shahih dan hadits hasan, baik secara sanad maupun matan. Istilah ini juga sesuai dengan pendapat Imam an-Nawawi.
Ada pendapat lain yang lebih tegas dan jelas didalam mendefinisikan hadits dhaif. Beliau ialah Nur ad-Din ‘Atr. Beliau berpendapat hadits dhaif adalah hadits yang hilang salah satu saja syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits yang shahih dan hadits yang hasan).
Perbedaan pendapat para ulama dalam menggunakan hadits dhaif dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1.      Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak, baik mengenai keutamaan amal ataupun hukum. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Arabi.
2.      Imam Ahmad dan Abu Daud berpendapat, bahwa boleh mengamalkan hadits dhaif secara mutlak, baik pada keutamaan amal ataupun hukum. Karena hadits dhaif dipandang lebih kuat dari pada pendapat perseorangan.[1]
3.      Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat bahwa mengamalkan hadits dhaif dalam urusan targhib dan tarhib (anjuran dan ancaman), serta fadhail ala’mal (keutamaan amal) dibolehkan dengan tiga syarat :
a.       Kedhaifan hadits itu tidak berat.
b.      Hadits dhaif termasuk dalam hadits pokok yang bisa diamalkan.
c.       Ketika mengamalkan tidak diyakini bahwa ia berstatus kuat, untuk menunjukkan sikap kehati-hatian.

B.     Macam-macam Hadits Dhaif
Hadits Dhaif terbagi menjadi dua kategori yaitu dhaif lidzatihi dan dhaif la lidzatihi. Kedua hadits ini tidak populer, namun secara umum adakalanya sanad dinyatakan sahih, tetapi secara matan ada kecacatan atau sebaliknyasecara matan sejalan dengan Al-Quran atau hadits, tetapi secara sanadnya lemah.
Hadits dhaif lidzatihi adalah dhaif yang di kalangan ulama tradisional sering disebut. Ini disebabkan oleh dua hal utama yaitu :
1.      Saqthun fi sanad (gugurnya atau guurnya rawi)
2.      Tha’nun  fi rawin (tercela rawinya)
3.      Ma’lul fi matn (matannya cacat)
Hadist dhaif lidzatihi ini dibagi menjadi beberapa macam yang dilihat dari segi tidak bersambungnya sanadnya  diantaranya adalah :
1.      Hadits Mu’allaq
Hadits Mu’allaq adalah hadits yang rawinya gugur pada permulaan sanad, baik yang gugur itu seorang rawi saja atau beberapa orang.   Terputusnya sanad pada hadits ini terjadi pada sanad pertama atau pad seluruh sanad.[2]
            “Nabi SAW, bersabda: Alloh itu lebih berhak untuk dijadikan tempat mengadu malu daripada manusia.” Hadits yang di takhrij oleh Bukhori ini termasuk hadis mu’allaq karena dua sanadnya sebelum Al Bukhari sebagai mukharrij gugur. Hadits mu’allaq ini adakalanya memang mu’allaq kenyataannya  ini dapat dikategorikan sebagai hadits dhaif dan ada kalanya sengaja di mu’allaq kan oleh penyusun kitab tertentu untuk keperluan praktis maka ini termasuk sahih dan tidaknya bergantung pada rawi yang meriwayatkannya.

2.      Hadits Mursal
Hadits Mursal adalah hadits yang di marfu kan oleh tabiin besar atau tabiin kecil. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang termasuk hadits mursal ialah hadits yang di marfu kan oleh tabin besar saja, sedangkan yang di marfu kan oleh tabiin kecil termasuk hadits munqathi. Kedhaifan hadits ini adalah ringan.
Hadits mursal dibagi menjadi dua bagian yaitu:
a.       Mursal tabi’i. Hadits ini termasuk hadits dhaif.
b.      Mursal shahabi. Hadits ini termasuk hadits marfu dan termasuk hadits shahih jika rawinya sahih.
Dalam pengamalan hadits mursal sebagai hujjah, para ulama berpendapat bahwa boleh berhujjah dengan hadits mursal shahabi tetapi tidak sah berhujjah dengan mursal tabi’i.


3.      Hadits Mu’dhal
Hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur rawinya secara beriringan dua orang atau lebih.
Contoh:  “Bagi si budak mempunyai hak makan dan pakaian”.
Hadits ini di takhrijkan oleh Imam Malik dan dalam sanadnya beliau langsung menerima hadis ini dari Abu Hurairah. Tentu saja hal ini tidak mungkin, kecuali ada seorang atau dua orang rawi yang menyampaikan hadits ini kepada beliau. Namun dua orang itu tidak disebutkan oleh Imam Malik. Dengan demikian hadits ini disebut dengan hadits mu’dhal.
4.      Hadits Munqathi
Hadits munqathi adalah hadits yang rawinya gugur dengan tidak beriringa, baik rawi itu dua orang saja atau lebih. Bisa dikatakan munqathi jika rawiya hanya satu saja yang gugur sedang yang lainnya mubham. Bedanya dengan hadits mursal yaitu kalau hadits mursal gugurnya perawi terbatas pada tingkatan sahabat, sedangkan hadits munqathi tidak ada batasan dari segi gugurnya perawi.
Contoh:“Adalah Rasululloh Saw. Apabila masuk masjid, beliau berdoa Dengan nama Alloh shalawat dan salam atas Rasululloh, Ya alloh ampunilah dosa-dosaku dan bukanlah pintu rahmat untukku.”
Hadits manqathi terdiri atas beberapa bagian yaitu :
a.       Dengan jelas munqathi, hadits yang betul-betul tidak pernah sezaman dengan orang yang diakuinya bahwa ia menyampaikan hadits kepadanya.
b.      Dengan samar-samar bahwa hadits itu munqathi, yaitu bisa diketahui hanyalah oleh orang yang sudah ahli.
c.       Hadits munqathi yang hanya dapat diketahui melalui jalan lainbahwa hadits itu inqitha yaitu dengan adanya kelebihan seorang rawi atau lebih melalui jalan lain.
            Ulama berpendapat bahwa hadits munqathi tidak dapat dijadikan   hujjah.
5.      Hadits Mundallas
Hadits mundallas adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang memalsukan riwayat dengan cara menutupi kecacatan gurunya atau rawi yang sebelumnya yang tidak baik agar riwayat yang diterima daripadanya dianggap menutupi gurunya atau orang yang sebelumnya itu dengan jalan memberi nama, kunyah, turunan atau mensipati dengan yang tidak dikenal oleh orang lain.
Cara ulama menyikapi hadits mundallas adalah sebagai berikut :
a.       Menolak secara mutlak karena rawi mundallas rusak keadilannya
b.      Menerima hadits mundallas jika memakai lafal, “akhbarana, haddatsana dan sami’an”. Jika muallis memakai riwayat  an maka riwayatnya tidak boleh diterima. Ada beberapa jalan untuk men tadlis yaitu:
1)      Menghilangkan sighat tahamul wa alada
2)      Menambah dengan suatu nama atau kunyah (kata sindiran)
3)      Menghilangkan nama orang yang lemah dari sanadnya.
6.      Hadits Mu’allal
Hadits yang pada lahirnya tampak terhindar dari cacat, baik pada sanad maupun matan. Tetapi setelah dilakukan penelitian secara mendalam dan dibandingkan dengan hadits lainnya yang semakna ternyata ditemukan kecacatan, seperti menyambung yang munqathi (terputus), me marfukan yang marfu dan lainnya yang serupa.
Adapun hadits dhaif yang disebabkan rawinya tercela (tha’nun fi al-rawi) terdiri atas beberapa macam, diantaranya :
1.      Hadits Maudlu, yaitu hadits palsu dimana perkataannya disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.
2.      Hadits Matruk, yaitu hadits dhaif yang disebabkan rawinya tertuduh dusta
3.      Hadits Mungkar, yaitu hadits dhaif yang disebabkan rawinya banyak kekeliruan, lengah dalam hafalan dan melakukan kecurangan dalam perbuatan dan perkataan.
4.      Hadits Mudraj, yaitu hadits dhaif yang disebabkan penambahan pada susunan sanad atau matan, sehingga susunannya berubah.
5.      Hadits Maqlub, yaitu hadits dhaif yang disebabkan karena adanya pemutar balikkan sanad atau matan.
6.      Hadits Mudhtharib, yaitu hadits dhaif yang kedhaifannya disebabkan hadits itu bertentangan satu sama lain, dalam maknanya. Masing-masing hadits itu tidak bisa di tahrij kan.
7.      Hadits Muharraf, yaitu hadits yang kedhaifannya disebabkan oleh perubahan titik dan baris (tanda baca)
8.      Hadits Mushahhaf, yaitu hadits dhaif yang kedhaifannya disebabkan oleh perubahan huruf pada nama rawi, tapi rupa tulisannya tetap.
9.      Hadits Mubham, Mastur, dan Majhul, yaitu hadits dhaif yang kedhaifannya disebabkan rawi tidak menyebutkan nama orang yang meriwayatkan hadits kepadanya.[3]
10.  Hadits Syadzd, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang haditsnya bisa diterima, tapi menyalahi orang yang lebih tsiqat daripadanya.
11.  Hadits Mukhtalith, yaitu hadits yang kelemahannya disebabkan ketuaannya atau karena kitabnya terbakar, atau hilang, atau sesuatu musibah terjadi padanya sehingga timbul ikhtilath pada hadits yang diriwayatkannya.
12.  Hadits Al-Mubtadi¸yaitu hadits dhaif yang diriwayatkan oleh orang bid’ah yang dengan bid’ahnya itu membawa kepada kefasikan dan kekufuran.

Hadits dhaif la lidzatihi adalah hadits yang secara sanadnya amat sahih, tetapi matannya dinilai bertentangan dengan Al-Quran. Teori ini sudah muncul sejak zaman sahabat dahulu, sehingga menjadi landasan epistomologi ulama sesudahnya yang selanjutnya terkenal dengan sebutan hadits musykil.
Menurut sebagian para ulama, hadits dapat dikatakan sebagai hadits la lidzatihi karena hadits tersebut bertentangan dengan Al-Quran, akal sehat, antropologi, sosiologi, dan biologi. Ada beberapa pendapat yang menerima hadits dhaif sebagai ajaran agama, sekalipun hanya dalam anjuran keutamaan amal.
Pendapat yang tidak mengamalkan hadits dhaif secara mutlak, baik dalam menentukan batal haram maupun dalam fadha’il amal adalah Ibn Sayid Al-Nas, Yahya bin Main, Abu Bakar Al- Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibn Hazm.
Sedangkan yang memperbolehkan dengan alasan bahwa hadits dhaif lebih baik daripada hanya sekedar ra’yi (pendapat) adalah Abu Daud Al-Thayalisi, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Abu Abdillah Al-Hakim Al-Naisaburi berpendapat bahwa,”Jika kami meriwayatkan tentang aqaid, halal, haram, dan hukum, maka kami mengkritik sanad dan rijal-rijal hadis dengan keras, sementara jika kami meriwayatkan perkara ganjaran dan siksaan, fadhail amal, maka kami longgar mengkritik sanad.”
Pendapat berikutnya (yaitu dalam mempertimbangkan hadits dhaif) adalah lebih condong untuk menerima hadits dhaif, tetapi terbatas pada mawa’izh dan pada fadhailul amal, bukan pada menetapkan hukum. Pendapat ini dipilih oleh Ibn Hajar, beliau memberikan syarat- syarat tertentu yaitu :
a.       Hadits tidak terlalu dhaif, seperti karena dusta, tertuduh dusta atau banyak salah.
b.      Hadits itu berasal dari hadits yang diamalkan .
c.       Hadits yang diamalkan itu sebagai ikhtiath belaka.
Dengan meneliti persyaratan yang dilakukan oleh Ibn Hajar tersebut, ternyata yang diamalkan itu bukan hadits dhaif secara mutlak akan tetapi hadts yang mencapai derajat kedhaifan yang ringan.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Kata dhaif menurut bahasa berasal dari kata dhuifin yang artinya lemah. Sedangkan dhaif berarti hadits yang tidak memenuhi hadits hasan. Hadits dhaif disebut juga hadits mardud (ditolak). Secara istilah hadits dhaif ialah hadits yang tidak mempunyai persyaratan hadits shahih dan hadits hasan, baik secara sanad maupun matan. Istilah ini juga sesuai dengan pendapat Imam an-Nawawi.
2.      Hadits Dhaif terbagi menjadi dua kategori yaitu dhaif lidzatihi dan dhaif la lidzatihi. Hadits dhaif dilihat dari segi tidak bersambunya sanad di bagi menjadi beberapa macam yaitu : Hadits Mursal, Hadits Munqathi, Hadits Mu’dhal, Hadits Mu’allaq, Hadits Mu’allal, dan Hadits Mundallas.

B.     Saran
Dari uraian makalah diatas kita diharapkan mampu untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hadits dhaif dan macam-macamnya sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan dan meningkatkan potensi dalam diri juga dapat menambah pengetahuan .



[1] Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits Praktis dan Mudah (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 131
[2] M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadits (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 210-223.
[3] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah Hadits Dhaif dan Maudhu (Jakarta: Gema Insani Press, 1995) hlm.77-79


Untuk versi fullnya silahkan download disini yaa

No comments:

Post a Comment